Tangerang Selatan, OLE – Sepotong sore di kawasan Pasar Ciputat, Tangerang Selatan, yang padat penduduk. Sekelompok bocah, putra putri berseragam kombinasi merah-putih, keluar dari Gang Raba. Mereka menuju lapangan bola dengan rumput artifisial, yang terletak di bawah fly over atau jalan layang Ciputat.
Ada sekitar 25 anak yang sore itu akan berlatih bola. Mereka adalah pemain SSB Bocici, binaan Rafi Paraba, pembina sepak bola usia dini dari Tangsel. “Jumlahnya kalau datang semua sekitar 40 anak. Tapi namanya juga anak-anak, kadang datang kadang enggak. Yang konsisten sekitar 20-25 orang,” ujar Rafi Paraba, pelatih sekaligus pengelola SSB Bocici, kepada Sigit Nugroho dari OLE.
Bukankah di Tangerang Selatan banyak lapangan bola standar? Kenapa mereka mau bergabung ke SSB Bocici yang berlatih dan bermain di sela suara klakson dan asap kendaraan yang lalu-lalang? Apalagi semua paham, kawasan Ciputat adalah salah satu sentra kemacetan di kota Tangsel.
“Kalau saya, senang saja berlatih disini. Mulai dari sore selepas Ashar, sampai menjelang Magrib. Enak berlatih di bawah jalan layang, tidak terasa capek,” tutur Rasik Al Farizi, siswa SDN Ciputat kelas 5.
Gratis Tanpa Iuran Bulanan
Nuri Indah Basyariah, salah satu pemain putri, mengamini pendapat Rasik. Dia bahkan sudah bergabung sejak 2 tahun lalu, saat masih duduk di bangku kelas 3 SDI Ciputat, bersama adiknya Sarah Qonita Fakroh.
Putri pasangan Salahudin Arief dan Annisa Aprila Rachmawati itu malah mengaku tak ada rasa prihatin, saat ditanya soal suka duka berlatih di bawah jalan layang. “Nggak ada dukanya. Di sini seragam dibelikan Abah Rafi, juga sepatu. Kami tidak dipungut biaya bulanan,” kata Nuri yang tampil cukup keras dalam latihan game.
Terkait tidak adanya iuran bulanan, hal serupa juga disampaikan Anna Mariana, ibu dari Adlan Ibrahim (6 thn). “Meski belum bersekolah, tapi Baim (panggilan sang anak), sudah bermain bola. Karena anaknya aktif, kami pikir bagus disalurkan lewat kegiatan positif seperti di Bocici. Apalagi tak dipungut biaya. Paling beli kostum, tapi itu normal,” ujar Anna.
Memang tidak semua perlengkapan dibelikan Rafi. “Kalau sedang dapat rezeki, ya bantu beli kebutuhan anak-anak main bola. Kalau tidak ada, ya seadanya saja. Tapi orangtua pemain suportif,” komentar Rafi, yang juga kakek dari gadis kembar Zira dan Zara.
Orangtua pemain memang tak keberatan. Mereka bahkan ikut meringankan kerja Rafi dan kedua putrinya yang ikut melatih, yakni Restu Paraba dan Lovista Paraba. Kedua gadis yang kini mengajar di sebuah sekolah swasta ini, juga dikenal sebagai pesepakbola putri di wilayah Banten dan DKI Jakarta.
“Di sini suasananya kekeluargaan. Kadang orangtua pemain ikut kerja bakti, membantu mengencangkan dan merapikan jaring pembatas. Kan banyak yang sudah jebol,” ujar Anna sembari menunjuk jaring penghalang agar bola tak keluar ke jalanan.
Dengan sabar Anna dan suaminya memberikan dukungan pada Baim, tak hanya antar-jemput, tapi menunggu sambil melihat perkembangan buah hati mereka. “Kalau dia bikin gol, hebohnya sampai berhari-hari,” imbuh Anna yang sore itu ditemani ayah Baim, Aryanto.
Meski tempat berlatihnya sederhana, semangat mereka tak kendor. Beberapa bagian rumput yang mengelupas hingga meninggalkan lubang, tak mereka jadikan alasan untuk absen berlatih. Ada harapan besar yang mereka gantungkan.
Pendidikan dan Agama
Cita-cita Nuri dan sebagian besar pemain Bocici ternyata memang ingin jadi pesepak bola hebat di kemudian hari. Namun demikian, jalur pendidikan juga diperhatikan oleh keluarganya. “Ya, harus berjalan beriringan antara sepak bola dengan pendidikan. Satu lagi, juga dalam akhlak. Penguatan di aspek agama,” imbuh Rafi.
Tiap malam Jumat, para bocil ini rutin mengadakan pengajian. Ada dzikir, membaca Surat Yasin di Mushola Al Ikhlas yang tengah dalam fase renovasi setelah langit-langit dan tembok bangunan tua di gang itu runtuh.
Hubungan kekeluargaan, baik yang bertalian darah maupun yang bukan, tampak begitu erat. Tiap Minggu pagi, Restu dan Lovista memasak, lalu mereka menikmati makan bersama. Ada orangtua pemain yang membawakan bahan untuk dimasak, ada yang tidak.
“Gotong royong dan hubungan kekeluargaan ini, sudah terbangun sejak bertahun-tahun lalu. Karena itulah saya membangun Bocici tanpa dilandasi aspek komersial, tapi sosial. Jika pemerintah dan para pejabat Tangsel lebih peduli, kami akan berterima kasih,” tutup Rafi.
Fasilitas lapangan yang jadi hiburan sehat untuk rakyat itu memang sudah mulai termakan usia. Begitu pula kelengkapan berlatih. Bola-bola yang dipakai sudah menghitam, rusak di banyak bagian. Begitu pula lapangan dan jaring-jaring pengaman. Perlu peremajaan dan penataan.
Jika semua itu diperhatikan, setidaknya kebahagiaan dan semangat bocah-bocah di sekitar jalan layang Ciputat, bisa lebih berlipat. Sepak bola rakyat akan lebih menggeliat.
Matahari sore pun mulai jatuh. Cahayanya menembus lapangan di bawah fly over, melalui sela gedung-gedung di kawasan Pasar Ciputat. Abah Rafi memberi instruksi sebelum bubar. Tak lupa, mereka menutup sesi latihan dengan doa.