Indonesia Today

Karomah Abah Juna: 7 Tulang Patah, 10 Menit Beres Tanpa Sakit!

Tangerang, OLE – Keberuntungan, seperti halnya nasib nahas, kerap datang secara tak terduga. Hal itu dialami Chairul Rizal (46), seorang karyawan swasta asal Medan, yang tinggal di kawasan Cipondoh, Kota Tangerang.

Saat pulang kerja, ia terserang kantuk hebat. Tanpa ia sadari, motornya melaju liar, lalu menabrak pagar pembatas. Ia ambruk, sejenak tak sadarkan diri. Begitu siuman, sekujur tubuhnya terasa sakit. Terutama tulang pundak, hingga lengannya terasa “jatuh”. Bernafas pun nyeri bukan main.

“Saat itu saya paksakan berdiri, naik motor lagi menuju rumah. Tentu saja sambil kesakitan. Yang paling tak terlupakan sakitnya, saat harus berbelok. Saya waktu itu belum tahu kalau tulang sudah patah,” kenangnya.

Begitu sampai rumah, pria asal Medan kelahiran 22 September 1977 itu, dibawa ke Rumah Sakit “M” di Kota Tangerang. Setelah masuk ke Unit Radiologi, tim medis melakukan foto daerah Thorax. Hasil rontgen lantas dibacakan dokter. Dikatakan, ada 7 (tujuh) ruas tulang Chairul yang patah.

“Ada di bagian pundak depan, dan paling banyak di tulang rusuk. Kemudian saya diberitahu jika operasi pemasangan pen untuk jumlah patahan sebanyak itu, berkisar di angka Rp150 juta. Itu belum termasuk biaya obat, kamar opname, dan penanganan lain pasca-operasi,” ujar Chairul menirukan informasi dari tim medis RS tersebut.

Ia langsung terbayang bakal tak produktif selama beberapa bulan. Belum lagi pengambilan kembali pen, jika tulang yang patah sudah tersambung. Soal rasa sakit, biaya, situasi yang tak produktif, bercampur-aduk jadi satu. Apalagi ia kepala rumah tangga.

Namun seorang rekan menawarkan pengobatan alternatif atau tradisional. Saat itu langsung terlintas sosok ahli patah tulang, yang biasa identik dengan minyak dan urut.

Singkat kata, ia menuju ke Desa Cukang Galih, Kecamatan Curug, Kabupaten Tangerang, tempat tinggal Abah Juna. Ia dikenal suka menolong orang yang mengalami musibah patah tulang. Medianya cuma air, tanpa minyak, bunga dan jampe-jampe seperti lazimnya.

“Ternyata saya salah duga. Abah Juna benar-benar jauh dari minyak dan proses urut yang menyakitkan,” ungkap Chairul.

Di kawasan Kampung Cukang Galih, dengan jalan kampung yang hanya pas untuk 1 kendaraan roda 4, banyak mobil berderet plat B. Kampung itu memang dikenal sebagai salah satu sentra “operasi tradisional” korban patah tulang.

Rumah Abah Juna di ujung jalan sempit yang hanya bisa pas untuk sebuah mobil, justru relatif sepi. Soalnya, pasien yang belum tahu, biasa diarahkan ke lokasi lain di sekitar, bukan ke Abah Juna yang jauh dari kesan promotif.

Rumah Abah Juna tampak berbeda, lebih teduh. Sama teduhnya dengan sosok sederhana yang siap membantu siapa saja, tanpa membedakan pasien lewat status sosialnya.

Hal itu pula yang penulis rasakan, yang kebetulan juga sedang mengalami patah tulang akibat kecelakaan (patah 4 ruas, dipasang pen senilai Rp115 juta). “Itu Abah sudah datang. Biasa, dari kebon. Memang begitu keseharian beliau,” ujar salah satu putranya.

Abah Juna mempersilakan para pasien masuk ke aula depan, sekaligus “tempat praktek” dengan beberapa kursi, termasuk yang terbuat dari anyaman bambu. Cukup luas. Kuat sekali nuansa tradisionalnya.

Sebelum “memegang” pasien, Abah Juna terlebih dahulu melepas sepatu bot khas petani. Ia lantas mengambil air wudhu, lalu masuk ke ruangan.

Tak Perlu Mahal dan Kesakitan

Sebelum menangani korban patah tulang, para pasien itu harus menyiapkan air mineral ukuran besar isi 1,5 liter. Jumlahnya bebas. Air itu nantinya akan didoakan oleh Abah Juna.

Tak banyak basa-basi. Abah mengambil gayung kayu berisi air. Ia lantas mengusap-usap bagian yang patah dengan air itu. Bibirnya tampak komat-kamit. Sayup-sayup ia menyebut asma Allah beberapa kali.

Kurang dari 10 menit, keajaiban pun terjadi. “Coba angkat tangannya, berdiri. Nggak usah takut, ayo angkat tangannya. Kain penyangga nggak usah dipakai lagi,” ujar kakek berpenampilan sederhana, dengan kaos oblong warna putih tersebut.

Banyak pasien yang keheranan. Termasuk Chairul. Ia tak perlu lagi memakai kain untuk menyangga sikunya, karena kondisinya memang parah.

Begitu pulang, tak sampai seminggu ia sudah bekerja lagi: mengendarai motor dan menyetir mobil dengan normal. “Alhamdulillah. Saya tak perlu mengeluarkan uang ratusan juta rupiah, dan tak perlu kesakitan selama berbulan-bulan,” ujar Chairul penuh syukur.

Saat memberi amplop sebagai ungkapan rasa terima kasih pun, ia kembali terkejut. Chairul sebenarnya memasukkan uang pecahan seratus ribu sebanyak 5 (lima) lembar. Ia lantas dipanggil Abah Juna. “Ini amplop kamu bawa kembali, termasuk isinya yang 3 (tiga) lembar. Tinggalkan 2 lembar saja,” ujarnya.

Kisah serupa dialami Mulyadi, warga Serang yang bekerja serabutan dan tinggal di daerah Meruyung, Depok. Ia juga mengalami kecelakaan akibat mengantuk saat naik motor. Menghantam pagar pembatas jalan setinggi 1 meter dari beton, tulang tumitnya retak.

“Sakit sekali kalau dipakai sholat. Saat melakukan tahiyat, saya selalu menahan rasa sakit luar biasa. Jalan pun terpincang-pincang,” keluh Mulyadi.

Mulyadi, tumit retak, tulang belikat geser.

Sama seperti Chairul, ia “disentuh” Abah Juna hanya sebentar, sekitar 10 menit. Selain kaki, ia juga menyampaikan keluhan tulang belikatnya sakit. Menurut Mul, efeknya mendatangkan rasa pusing luar biasa.

“Abah tadi bilang, ini tulang ada yang geser. Insha Allah bisa sembuh. Jangan lupa, di rumah diusapkan air mineral di tempat yang sakit. Minum juga,” ujarnya, yang beberapa menit kemudian sudah bisa menjadi imam sholat dzuhur dengan normal.

Redaksi juga sempat menyaksikan seorang pria yang baru datang. Sekadar berdiri pun susah. Untuk turun dari mobil, ia harus dipapah seorang wanita. Tentu saja, jalannya sambil menyeret kaki.

Setelah ditangani Abah Juna sekitar 10 menit, pasien itu keluar. Wanita tadi tak lagi sibuk memapah dia. Di depan pintu, sang pasien bahkan sudah bisa berdiri sendiri, sambil bermain HP!

Gambar 1 dan 2, saat baru datang. Gambar 3, setelah ditangani Abah Juna.

Hanya Urusan Tulang

“Sepanjang masalahnya adalah tulang patah atau retak, saya siap bantu. Di luar itu, bukan urusan saya. Cari yang lain saja. Satu lagi, saya enggak mau memegang orang patah tulang yang sudah dipasang pen oleh dokter,” ujar Abah Juna kepada Sigit Nugroho, Pemimpin Redaksi OLE, Minggu (16/6/2024).

Matanya menerawang. Ia seperti terkenang saat ada salah satu pasiennya yang telah dipasang pen, datang ke tempatnya. Begitu ditangani, ia kembali ke dokter.

Tak lama kemudian, sang dokter datang ke rumah Abah Juna, sambil marah-marah. “Sekarang, asal sudah dipasang pen, pokoknya enggak mau. Cabut dulu, baru bawa sini,” lanjutnya.

Soal metode penyembuhan Abah Juna masuk akal atau tidak, terserah penilaian masing-masing. Jika dinalar pakai logika, apa yang dilakukan Abah Juna jelas tak masuk akal.

Tanpa urut, hanya diusap air, dan hanya sekitar 10 menit, pasien luka parah bisa langsung pulih, sekalipun tidak langsung 100 persen. Masih ada sisa ngilu, itu normal.

Makin tak masuk akal lagi jika bicara soal biaya. Tak ada tarif tertentu. Pasien bisa memberikan “ucapan terima kasih” secukupnya. Bahkan, jika sang pasien orang yang kurang mampu atau sedang butuh biaya, Abah Juna seperti tahu. Ia akan mengembalikan sebagian besar.

Ada yang berpikir negatif, menuduh Abah Juna melakukan hal-hal yang dilarang agama. Namun yang menilai sebaliknya, jelas lebih banyak. Soalnya, dilihat dari keseharian saja, orang akan cepat menilai kebaikan dan kepolosan Abah Juna.

Ia tak menampakkan diri sebagai ulama besar, ajengan, dan sejenisnya. Namun karomah itu hak Allah dan dia seperti mendapatkan ridho-Nya. Tak peduli seperti apapun penampilannya.

“Kebiasaan Bapak tak pernah berubah. Tiap sore sekitar jam 17.00 WIB, beliau sudah rapi dan berada di dalam mushola. Dzikir, nggak keluar-keluar. Selesainya malam, baru tidur. Habis sholat malam, pagi sholat subuh, dzikir lagi, lalu ke kebon,” ujar putra ketiganya, satu-satunya yang dipercaya Abah Juna untuk menggantikan dia jika berhalangan.

Jangan harap minta nomor telepon, atau sekadar share loc. Keluarga ini benar-benar sederhana, jauh dari kesan komersil. Itulah mengapa di kampungnya, “identitas” Abah Juna lebih jelas. Tak ada pasien dengan urutan nomor ala klinik. Juga tak ada pemasangan tarif. Keikhlasan adalah citra yang melekat kuat pada Abah Juna.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terpopuler

To Top