EKSKLUSIF

Laporan dari Gaza: Al Aqsa dan Penjara Besar Bangsa Palestina

Gaza, OLE – Alhamdulillah, Alhamdulillah. Saya sungguh tak menyangka meletusnya perang, hanya beberapa jam di tempat saya baru saja melaksanakan salat. Pada hari Jumat 6 Oktober 2023, saya sempat menikmati salat Jumat di Masjid Al Aqsa. Esoknya (7/10/2023), salat subuh berjamaah di masjid yang paling sering jadi ajang pertikaian itu.

Siapa duga, nyatanya hanya selang beberapa jam, situasi di Masjidil Aqsa, begitu mencekam. Sebelum roket-roket Hamas menghantam berbagai wilayah di Israel, tentara Zionis tengah “mengawal” sebuah perayaan kaum Yahudi, warga Israel. Provokasi warga Israel dengan warga Palestina yang sekitar Masjidil Aqsa biasa diakhiri dengan aksi represif tentara Israel.

Suasana salat di Masjid Al Aqsa, beberapa jam sebelum perang.

Balasannya paling berupa lemparan batu-batu. Tapi tidak hari itu. “Hari ini Hamas membalas dengan keras, menyerang langsung ke wilayah Israel, pertama kali sejak 1973. Ini mungkin puncak kemarahan Hamas,” ujar Ahmed Muhammad Omar Al Madani, warga Palestina yang jadi dosen luar biasa Universitas Airlangga, Surabaya.

“Selama beberapa tahun pendudukan Israel, beberapa warga Palestina ditembak mati tapi dunia diam. Jumlah itu jika dikumpulkan selama pendudukan, mencapai ribuan jiwa. Barat diam.”

Data hingga 11 Oktober 2023 dari Kementerian Kesehatan Gaza, korban tewas 1.100 orang, luka 5.339 orang. Sementara data dari Otoritas Israel, korban tewas 1.200 orang, luka 3.192 orang.

Korban dari kub Israel, langsung deklarasi perang.

Serangan Hamas ini disusul deklarasi perang oleh pemerintahan Zionis Israel, pertama sejak 1972. Bagi Hamas, deklarasi atau tidak sama saja, Israel rajin membunuhi warga Palestina.

Perbatasan Ditutup

Jadi, sungguh beruntung saya bisa keluar dari wilayah konflik sebelum perbatasan di tutup tentara Israel. Saat naskah ini dibuat, saya sedang dalam perjalanan menuju Kairo, sesuai rencana perjalanan melintasi 2 negara lainya, Jordania dan Palestina.

Begitu bus memasuki Petra, Jordania, perasaan lega bercampur ngeri dan kasihan beraduk menjadi satu. Lega lamtaran lepas dari zona rawan perang. Tapi ngeri dan kasihan jika membayangkan korban berjatuhan. Sepanjang perjalanan, siaran langsung lewat televisi terkait situasi terkini perang di jalur Gaza, terus jadi perhatian seluruh penumpang.

Beruntung bisa masuk Petra Jordania, meski dengan kawalan polisi.

Menurut kru bus yang kami tumpangi, ada informasi hari ini perbatasan Jordania ke Palestina ditutup. Telat beberapa jam saja, kami takkan bisa kemana-mana dan terpaksa berada di kawasan perang seperti beberapa bus di belakang kami.

Program sesuai jadwal hari ini kami mengunjungi Piramida yang terkenal itu. Saat ini saya di check point daerah Chaterin (Mesir). Mengingggat situasi yang kurang kondusif, kini bus harus berjalan secara konvoi dan dikawal polisi Mesir menuju Kairo.

Yang pasti, memang saya tidak sepenuhnya siap dengan laporan perjalanan yang bersinggungan dengan perang. Tak satu pun kru yang ikut dalam perjalanan, juga berpikir tentang perang. Maklum, dalam beberapa hari terakhir situasi kondusif. Nyatanya, Hamas sudah mengincar titik lemah lawannya dan militer Israel mengakui jika mereka kecolongan.

Kepala Dewan Keamanan Nasional Israel Tzachi Hanegbi mengaku telah salah menilai Hamas telah dilumpuhkan saat perang Israel dengan Gaza pada 2021. “Kenyataannya kelompok perlawanan Palestina yang menguasai Jalur Gaza itu justru masih kuat dan semakin mengancam. Saya membuat kesalahan saat mengatakan Hamas telah dicegah setelah Operasi Guardian of the Walls,” kata Hanegbi, dikutip dari Anadolu, Minggu (15/10/2023).

Pejuang Hamas, berperang demi Palestina merdeka dari penjajahan Israel.

Begitu bisa memecah Palestina jadi beberapa wilayah terpisah, Israel melakukan blokade sejak 2007. Bantuan pangan, obat-obatan, dan lain-lain, takkan bisa lewat. Meskipun ada seruan dari PBB dan kelompok hak asasi manusia, Israel tetap mempertahankan blokade tersebut.

Blokade tersebut berdampak buruk pada warga sipil Palestina yang menghadapi pembatasan pergerakan secara ketat. Israel melarang warga Palestina memasuki atau meninggalkan wilayah tersebut.

Menurut Menurut B’Tselem, sebuah kelompok hak asasi manusia Israel, “Orang Palestina susah keluar dari desanya kecuali dalam kasus yang sangat jarang terjadi, mencakup kondisi medis mendesak yang mengancam jiwa dan beberapa pedagang yang jumlahnya sangat sedikit.”

Human Rights Watch menyebut kondisi di Gaza sebagai “penjara terbuka,” mengacu pada pembatasan pergerakan yang diberlakukan Israel terhadap warga Palestina di sana. Komite Palang Merah Internasional menganggap blokade itu ilegal dan melanggar Konvensi Jenewa.

Tuduhan itu dibantah oleh pejabat Israel. Mereka mengatakan blokade itu membuat Israel dapat mengendalikan perbatasan Gaza, dan itu diperlukan untuk melindungi warga Israel dari kemungkinan serangan Hamas.

Akar Konflik Israel-Palestina

Pemahaman tentang perang Irael-Palestina (baik Hamas maupun Hizbullah, 2 aliran Sunni dan Syiah tapi bersatu karena lawan yang sama, Israel), takkan cukup ditulis dengan 2-3 lembar halaman. Terlebih dari kacamata berbeda, yang pro Israel, atau pro Palestina.

Namun kini media-media barat yang biasa pro Israel, mulai menulis lebih fair. Reuters, The Guardian, CNN dan banyak lagi, mulai sering melaporkan kekejaman tentara Israel, sementara video pejuang Hamas yang menggendong dan menciumi anak-anak Israel yang tertinggal saat perang, terus membanjiri media sosial.

Presiden AS Joe Bidden pun mulai mengakui, pendudukan Israel atas tanah Palestina di Jalur Gaza adalah sebuah kesalahan besar. Meski pun demikian, Bidden tetap akan mendukung Israel, dengan dibalut rasa was-was jika Rusia akan ikut masuk “arena” seperti disampaikan Presiden Vladimir Putih.

Pertempuran antara Israel dan Hamas, yang melancarkan serangan mendadak pada hari Sabtu, adalah yang terbaru dalam 7 dekade perang dan konflik antara Israel dan Palestina yang telah menarik kekuatan luar dan mengguncang Timur Tengah secara lebih luas.

Konflik ini mempertemukan tuntutan Israel akan keamanan di wilayah yang telah lama mereka anggap sebagai wilayah yang bermusuhan dengan aspirasi Palestina untuk memiliki negara mereka sendiri.

Bapak pendiri Israel, David Ben-Gurion, memproklamirkan Negara Israel modern pada tanggal 14 Mei 1948, membangun tempat berlindung yang aman bagi orang-orang Yahudi yang melarikan diri dari penganiayaan dan mencari rumah nasional di tanah yang mereka anggap memiliki ikatan yang erat selama beberapa generasi.

Warga Palestina menyesali penciptaan Israel sebagai Nakba, atau malapetaka, yang mengakibatkan perampasan hak milik mereka dan menghalangi impian mereka untuk bernegara.

Dalam perang yang terjadi setelah “praklamasi Israel”, sekitar 700.000 warga Palestina, setengah dari populasi Arab di wilayah Palestina yang dikuasai Inggris, melarikan diri atau diusir dari rumah mereka. Ada yang berakhir di Yordania, Lebanon, dan Suriah serta di Gaza, Tepi Barat dan Yerusalem Timur. .

Israel, sekutu dekat AS, membantah pernyataan bahwa mereka mengusir warga Palestina dari rumah mereka dan menyatakan bahwa mereka diserang oleh lima negara Arab sehari setelah pembentukannya. Pakta gencatan senjata menghentikan pertempuran pada tahun 1949 namun tidak ada perdamaian formal.

Warga Palestina yang tetap bertahan dalam perang saat ini membentuk komunitas Arab-Israel, yang merupakan 20% dari populasi Israel. Pada tahun 1967, Israel melakukan serangan pendahuluan terhadap Mesir dan Suriah, dikenal sebagai “Perang 6 Hari”. Israel menduduki Tepi Barat, Yerusalem Timur Arab, yang direbut dari Yordania, dan Dataran Tinggi Golan di Suriah sejak saat itu.

Pada tahun 1973, Mesir dan Suriah menyerang posisi Israel di sepanjang Terusan Suez dan Dataran Tinggi Golan, yang memulai Perang Yom Kippur. Israel dengan pasokan senjata dari AS, memukul mundur kedua pasukan tersebut dalam waktu 3 minggu.

Israel menginvasi Lebanon pada tahun 1982 dan ribuan pejuang Palestina di bawah pimpinan Yasser Arafat dievakuasi melalui laut setelah pengepungan selama 10 minggu. Pada tahun 2006, perang kembali meletus di Lebanon ketika militan Hizbullah menangkap dua tentara Israel dan Israel membalas.

Pada tahun 2005 Israel keluar dari Gaza, yang direbutnya dari Mesir pada tahun 1967. Namun Gaza mengalami gejolak besar pada tahun 2006, 2008, 2012, 2014 dan 2021 yang melibatkan serangan udara Israel dan tembakan roket Palestina, dan terkadang juga serangan lintas batas oleh salah satu pihak.

Selain perang, ada dua intifada atau pemberontakan Palestina antara tahun 1987-1993 dan sekali lagi pada tahun 2000-2005. Yang kedua adalah gelombang bom bunuh diri Hamas terhadap warga Israel.

Upaya Perdamaian

Pada tahun 1979, Mesir dan Israel menandatangani perjanjian damai, mengakhiri permusuhan selama 30 tahun. Pada tahun 1993, Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin dan Yasser Arafat berjabat tangan mengenai Perjanjian Oslo, mengenai otonomi terbatas Palestina. Pada tahun 1994, Israel menandatangani perjanjian damai dengan Yordania.

KTT Camp David tahun 2000 menyaksikan Presiden Bill Clinton, Perdana Menteri Israel Ehud Barak dan Arafat gagal mencapai kesepakatan perdamaian akhir. Pada tahun 2002, sebuah rencana Arab menawarkan Israel hubungan normal dengan semua negara Arab sebagai imbalan atas penarikan penuh dari wilayah yang mereka rebut dalam perang Timur Tengah tahun 1967, pembentukan negara Palestina dan “solusi yang adil” bagi pengungsi Palestina.

Israel menolak rencana itu. Mereka terus aktif mengusir penduduk Palestina dari rumah-rumah mereka, lalu diisi oleh warga Israel. Hal itu seperti biasa terus dibantah, tapi video pengusiran, bahkan penembakan bagi yang menolak, terus beredar.

Upaya perdamaian terhenti sejak 2014, ketika perundingan antara Israel dan Palestina di Washington gagal. Palestina kemudian memboikot hubungan dengan pemerintahan Presiden AS Donald Trump karena pemerintahan tersebut membalikkan kebijakan AS selama beberapa dekade dengan menolak mendukung solusi dua negara – formula perdamaian yang membayangkan sebuah negara Palestina didirikan di wilayah yang direbut Israel pada tahun 1967.

Situasi Terkini

Pemerintahan Presiden AS Joe Biden berfokus pada upaya untuk mengamankan “tawar-menawar besar” di Timur Tengah yang mencakup normalisasi hubungan antara Israel dan Arab Saudi, penjaga dua tempat suci umat Islam.

Perang terbaru ini secara diplomatis terasa canggung bagi Riyadh (Arab Saudi) dan juga bagi negara-negara Arab lainnya, termasuk beberapa negara Teluk Arab yang bersebelahan dengan Arab Saudi, yang telah menandatangani perjanjian perdamaian dengan Israel.

Solusi dua negara, permukiman Israel, status Yerusalem, dan pengungsi menjadi inti perselisihan tersebut. Solusi dua negara – sebuah perjanjian yang akan menciptakan negara bagi Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza bersama Israel. Hamas menolak solusi dua negara dan bersumpah akan menghancurkan Israel. Israel mengatakan negara Palestina harus didemiliterisasi agar tidak mengancam Israel. Jelas takkan ditemukan titik temu dari 2 sikap ini.

Sebagian besar negara menganggap pemukiman Yahudi yang dibangun di tanah yang diduduki Israel pada tahun 1967 adalah ilegal. Israel membantah hal ini dan mengutip hubungan sejarah dan Alkitab (Yahudi dan Nasrani) dengan tanah tersebut. Ekspansi berkelanjutan mereka merupakan salah satu isu yang paling diperdebatkan antara Israel, Palestina, dan komunitas internasional.

Bersandar pada kitab umat Islam, Al Quran, memang ada kesamaan. Agama yang berseteru itu sama-sama mengakui adanya Nabi Ibrahim (Islam) atau Abraham (Nasrani), juga Nabi Isa (Islam) yang dianggap jadi Tuhan oleh kaum Nasrani. Kaum Yahudi tidak mengakui Yesus itu Tuhan, sama seperti Islam.

Permusuhan versi Palestina dimulai saat kaum Yahudi dibantai dan diburu baik oleh Nazi ataupun tentara lain di banyak penjuru dunia. Mereka lalu datang ke Palestina, diterima dengan tangan terbuka, diberi makanan dan sebuah tempat terbatas.

Namun kaum Yahudi menganggap itu tanah mereka sesuai Alkitab, dan diam-diam menyusun kekuatan. Begitu tokoh-tokoh Yahudi di AS dan negara-negara lain mendukung dengan uang dan senjata, mereka mulai menyerang warga Palestina. Sedikit demi sedikit tanah mereka kuasai. Jika dibandingkan wilayah Israel sebelum perang dengan kini, jelas timpang.

Terkini, warga Palestina tetap ngotot menginginkan Yerusalem Timur, yang mencakup situs-situs suci bagi umat Islam, Yahudi dan Kristen, menjadi ibu kota negara mereka. Israel mengatakan Yerusalem harus tetap menjadi ibu kotanya yang “tak terpisahkan dan abadi”.

Klaim Israel atas bagian timur Yerusalem tidak diakui secara internasional. Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel – tanpa merinci luas yurisdiksinya di kota yang disengketakan tersebut – dan memindahkan kedutaan AS ke sana pada tahun 2018.

Saat ini sekitar 5,6 juta pengungsi Palestina – sebagian besar merupakan keturunan mereka yang melarikan diri pada tahun 1948 – tinggal di Yordania, Lebanon, Suriah, Tepi Barat yang diduduki Israel, dan Gaza. Menurut Kementerian Luar Negeri Palestina, sekitar setengah dari pengungsi yang terdaftar masih belum memiliki kewarganegaraan, dan banyak dari mereka tinggal di kamp-kamp yang penuh sesak.

Warga Palestina telah lama menuntut agar para pengungsi diizinkan kembali, bersama dengan jutaan keturunan mereka. Israel mengatakan setiap pemukiman kembali pengungsi Palestina harus dilakukan di luar perbatasannya.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terpopuler

To Top