OLE – Sinar matahari jatuh di sela-sela pepohonan yang rimbun di halaman Pondok Pesantren Nafidatunnajah, Pamulang, Tangerang Selatan, Senin siang, pekan lalu. Embusan angin menghadirkan suasana teduh.
Beberapa santri tengah beristirahat siang. Sebagian lagi baru bangun dan memulai aktivitas seperti berwudhu. Maklum, rata-rata santriwan dan santriwati ponpes tersebut belajar dengan spesialisasi sebagai penghafal Al Quran. Karenanya, menjaga wudhu menjadi sebuah kebiasaan.
“Alhamdulillah kami sekarang bisa menikmati suasana belajar yang kondusif. Awalnya tidak seperti ini. Seperti banyak ponpes lainnya, kami juga menghadapi ujian, penuh keterbatasan dan kekurangan,” ujar KH Ahmad Munawir Hidayat kepada Sigit Nugroho dari OLE.
Berawal dari sebuah rumah petak yang mereka kontrak secara bulanan, tiga pendiri ponpes berniat menghidupkan mushola kecil di daerah Pondok Sentul, Ciater, kawasan Maruga, Tangsel. Mereka adalah Munawir, Ahmad Nurul Anwar, dan Ahmad Muchtar.
Rumah Petak 3 Pintu
Kegiatan ringan dimulai dengan pengajian anak-anak. Pada rentang 2012-1025, ternyata banyak yang antusias. Jumlah santri cilik yang mengikuti kegiatan makin berlipat. Ketiga pengajar itu akhirnya memutuskan menambah ruang dakwah dengan menyewa rumah petak sampai tiga pintu.
Akhir 2015 mereka mencari lahan dan akhirnya mendapatkan lahan kosong seluas 2000 meter di lokasi yang saat ini jadi markas ponpes. “Lahannya benar-benar kosong, belum ada bangunan. Kami hanya bisa membangun saung untuk ruang belajar,” kenang Anwar.
Santrinya sudah beragam. Ada yang datang dari Serang (Banten), warga Ciater, juga anak-anak sekitar. Bagi santri yang masih menginap di rumah kontrakan, mereka pulang dengan antar-jemput dengan mobil. Belajar pagi, sampai sore. Jumlah santri dulu cuma sekitar 25 orang. Kini berlipat.
“Begitu ada rezeki, kami mendirikan bangunan pertama. Belum selesai, tapi sudah ditempati. Tanpa keramik,” imbuh Munawir. “Perlahan, bangunan terus bertambah secara bertahap. Mulai gedung yang bawah, aula, dan kini selesaikan bangunan lantai 2. Tanggal 8 mulai digunakan untuk santri Madrasah Tsanawiyah putri.”
Mengimbangi kebutuhan pendidikan formal, selain belajar Kitab Kuning, para santri awalnya hanya terdiri dari siswa-siswi MTs dan Masdrasah Aliyah (MA, setara SMA), juga SMK (kejuruan). Ujian dan ijazah kala itu masih menginduk ke MTs Al Hidayah Gunung Sindur, Bogor, di bawah binaan Departemen Agama.
“Kami sudah meluluskan empat angkatan. Tahun ini, kami mengurus akreditasi agar bisa ujian dan mengeluarkan ijazah sendiri. Oleh karena itu, jika sebelumnya semua santri mondok dan belajar secara gratis, maka untuk peserta didik berikutnya dikenakan biaya,” ujar Anwar.
UIN dan Gontor
Hal ini tak lepas dari berbagai penambahan sarana dan prasarana yang dikeluarkan pengelola ponpes. Tenaga pengajar pun makin bervariasi. “Ustadnya kami manfaatkan jasa alumni UIN dan ponpes ternama seperti Gontor Jawa Timur,” komentar Munawir.
Biaya yang dipatok saat masuk Rp 4,6 juta. Uang SPP sebesar Rp 500 rb/bulan, sudah termasuk makan dan penginapan. Itupun masih bisa dikurangi. Menurut Munawir, jika calon santri punya hafalan 3 juz, ia bisa masuk gratis. Bagi yang punya hafalan 1 juz, bayar Rp 2 juta. Kalau tak punya hafalan sama sekali, bayar penuh Rp 4,6 juta, walau bisa dicicil.
Tenaga pengajar kini total berjumlah 18 orang. Semua santri mondok penuh, meskipun rumahnya berada di depat pesantren. Tak boleh ada yang pulang, kecuali saat libur. Memang terasa lebih keras, namun ada alasannya.
“Termasuk soal biaya masuk dan SPP. Saya sudah pelajari bertahun-tahun. Ternyata yang gratisan justru tidak berprestasi. Santri cenderung santai, tidak ada ikatan. Kalau mau keluar dari pesantren, ya tinggal keluar,” terang Munawir.
Baca Juga : https://ole.co.id/nyantri-di-al-azka-jaga-spirit-walau-ada-covid/
Ponpes Nafidatunnajah punya program unggulan dalam bidang tahfiz dan Bahasa Arab dan Inggris. Perbaikan fasilitas sarana dan prasarana juga diimbangi dalam perbaikan remunerasi. Jika selama ini tenaga pengajar tidak mendapat gaji bulanan, kelak tidak lagi.
“Selama ini memang demikian, tapi pengelola dan pengajar saling-bantu. Bagi santri yang mau kuliah, diongkosi. Namun ia harus ridho mengajar santri-santri MTs dan MA di sini,” ujar Anwar, yang baru lulus S2 di Universitas Pamulang.
Beberapa santri putri juga dibiayai untuk kuliah di tempat yang sama. Salah satunya Siti Ruwaidah. Remaja cantik ini tak keberatan mengajar “adik-adik” di ponpes yang letaknya tepat di samping TPU Jonggol ini. “Selama ini kami dibayar setahun sekali, pas dekat Lebaran, karena ada bantuan dari donatur. Namun pengelola juga membantu kami jika ada kebutuhan mendadak,” ujar Siti.
Ponpes itu sekarang juga memiliki koperasi, mengelola bisnis kambing akikah, serta ayam bakar dengan label “Ayam Nyantri”. Jika rezeki lancar, Munawir berharap bisa segera membangun masjid. Ia mengajak para donatur dan simpatisan untuk membantu, sekaligus memetik berkahnya.
Twitter: @sigitbola. IG: @sigitole. Email: sigitbola@yahoo.com