Kriminal

Pengadilan Tinggi Perberat Vonis Harvey Moeis Jadi 20 Tahun Bui + Rp420 M

Jakarta, OLE – Vonis ringan terdakwa Harvey Moeis karena merugikan negara Rp271 triliun yang cuma 6,5 tahun akhirnya diperberat oleh Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta, jadi 20 tahun penjara. Harvey terjerat kasus korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk pada tahun 2015-2022.

Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta, Teguh Harianto, membacakan putusan banding
di ruang sidang PT Jakarta, Kamis (13/2/2024). “Menjatuhkan pidana kepada Harvey Moeis selama 20 tahun,” kata hakim saat membacakan amar putusan.

Majelis Hakim Pengadilan Tinggi menyatakan suami dari artis Sandra Dewi tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) secara bersama-sama.

Selain pidana badan, Majelis Hakim juga menghukum Harvey membayar denda sebesar Rp1 miliar subsider 8 bulan penjara. Serta menambah hukuman uang pengganti Harvey Moeis dari Rp210 miliar menjadi Rp420 miliar subsider 10 tahun.

Sebagai informasi, banding tersebut sebelumnya diajukan oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) atas vonis ringan Harvey dalam kasus korupsi tersebut. Permohonan banding itu dilakukan Kejagung karena menilai vonis Harvey terlalu rendah dan tidak memenuhi rasa keadilan.

Rakyat marah lewat media sosial dan demo, sedangkan Presiden Prabowo Subianto yang juga jadi sasaran kritik, ikut menyampaikan keprihatinan atas lemahnya kinerja para aparat penegak hukum.

KY Periksa Hakim

Sebelumnya, Harvey Moeis yang mewakili PT RBT divonis 6,5 tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider enam bulan kurungan oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.

Ia juga dibebani untuk membayar uang pengganti Rp210 miliar dengan memperhitungkan aset yang telah disita subsider dua tahun penjara. Vonis dari PN Jakarta Pusat tersebut lebih ringan dari tuntutan jaksa dari Kejagung.

Di mana sebelumnya jaksa meminta agar Harvey dihukum dengan pidana 12 tahun penjara dan denda sebesar Rp1 miliar subsider satu tahun kurungan ditambah uang pengganti sejumlah Rp210 miliar subsider enam tahun penjara.

Kasus Hakim di Surabaya

Kasus “hakim tidak beres” juga terjadi di Surabaya. Kasusnya melibatkan Gregorius Ronald Tannur (terdakwa kasus pembunuhan terhadap kekasihnya sendiri, Dini Sera Afriliani) di kawasan Surabaya, pada Oktober 2023. Ronald dan Dini yang baru selesai berkaraoke dan menegak minuman beralkohol sempat bertengkar saat akan pulang.

Dari rekaman CCTV, Ronald sempat memukuli Dini bahkan melindas tubuhnya dengan mobil yang ia kendarai. Dini tewas dengan sejumlah luka memar di sekujur tubuhnya. Hakim Erintuah Damanik cs menilai Ronald tak terbukti melakukan penganiayaan dan membunuh Dini, lalu divonis bebas.

Hakim-hakim nakal itu akhirnya diusut dan Mahkamah Agung mengumumkan sanksi terhadap 2 mantan pimpinan Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Rudi Suparmono (mantan Ketua PN Surabaya) dan eks wakilnya, Dju Johnson Mira Mangngi. Juru Bicara Mahkamah Agung, Yanto, menyatakan keduanya mendapat vonis berbeda karena pelanggaran disiplin yang dilakukan mereka pun berbeda kadarnya.

Rudi mendapat hukuman lebih berat karena terbukti melakukan pelanggaran disiplin berat, dijatuhi hukuman hakim non-palu selama 2 tahun (2/1/2025). Rudi juga takkan menerima tunjangan jabatan hakim selama berstatus hakim non-palu.

Rudi menjabat sebagai Ketua PN Surabaya saat berkas Ronald Tannur masuk. Rudi kemudian menduduki jabatan Ketua Hakim PN Jakarta Pusat melalui sertijab pada 16 April 2024. Ronald kemudian mendapat vonis bebas dari 3 hakim: Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo pada Juli 2024. Rudi kini menjadi hakim non palu di Pengadilan Tinggi Kupang selama 2 tahun.

Dju Johnson yang saat ini ia menjabat sebagai Hakim Tinggi Denpasar sejak November 2024. Mahkamah Agung juga menjatuhkan sanksi kepada 3 mantan pegawai PN Surabaya.

“Mereka adalah RA, Y dan UA, yang terbukti melakukan pelanggaran etik berat saat menjabat sebagai staf di PN Surabaya. Mereka dijatuhi sanksi berupa pembebasan dari jabatannya dan menjadi pelaksana selama 12 bulan,” ujar Yanto. 

Belakangan Erintuah cs ditangkap oleh Kejaksaan Agung karena diduga menerima suap dari pengacara Ronald Tannur, Lisa Rachmat. Selain itu, Kejaksaan Agung juga menangkap eks pejabat MA, Zarof Ricar, yang diduga berperan sebagai makelar vonis bebas tersebut.

DPR: Pidanakan Hakim!

Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR RI Heru Widodo meminta agar para hakim nakal, termasuk yang menjatuhkan vonis bebas kepada terdakwa Ronald Tannur, dipidanakan. Sanksi MA menurut DPR dan masyarakat, terlalu ringan.

Heru mengatakan vonis hakim yang membebaskan Ronald Tannur itu janggal karena tidak ada satu pun pasal dalam dakwaan yang digunakan dalam putusannya. Sedangkan dari pengamatan fisik sudah jelas terdapat bukti-bukti penganiayaan terhadap Dini Sera Afrianti hingga meninggal.

“Kita panggil MA (Mahkamah Agung), kita panggil KY (Komisi Yudisial), kita minta untuk periksa hakimnya, kalau memang di sana terjadi penyimpangan, pecat hakimnya. Kalau memang kemudian ada pelanggaran pidana, pidanakan hakimnya,” kata Heru saat audiensi dengan keluarga korban Dini Sera di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 29 Juli 2024.

Heru juga meminta Komisi III DPR mengawal jaksa untuk menempuh kasasi. Dia ingin keluarga Dini Sera mendapatkan keadilan, apalagi korban juga meninggalkan seorang anak. Anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa DPR itu mengakui Ronald Tannur merupakan putra dari politikus PKB, Edward Tannur.

Namun dia menegaskan PKB pun tidak akan memberikan perlindungan dan menoleransi perkara tersebut. “Saudara Edward Tannur sebagai orang tuanya sudah dinonaktifkan dari partai, juga sekaligus dinonaktifkan dari DPR RI sehingga ini menjadi komitmen bagi PKB,” kata dia.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terpopuler

To Top