Jakarta, OLE – Insiden penyerbuan pria berpotongan preman pada acara dialog kebangsaan yang diadakan di Hotel Grand Kemang, Jakarta Selatan, Sabtu (28/9/2024), berubah menjadi insiden kekerasan.
Sekelompok orang tak dikenal membubarkan acara tersebut secara paksa. Acara ini dihadiri oleh sejumlah tokoh dan aktivis nasional, termasuk Din Syamsuddin, Refly Harun, Marwan Batubara, Said Didu, Rizal Fadhilah, dan Sunarko, serta Ketua dan Sekjen Forum Tanah Air, Tata Kesantra dan Ida N. Kusdianti.
Kelompok perusuh yang diduga berasal dari Indonesia Timur mulai berorasi di depan hotel, mengkritik para narasumber dan membela kebijakan pemerintahan Presiden Joko Widodo. Tidak puas hanya dengan berorasi, mereka kemudian masuk ke dalam ruangan acara dan memporak-porandakan tempat pertemuan.
Netizen di berbagai platform media sosial menilai polisi melakukan pembiaran. Sebagian lagi menuduh para perusuh sebagai pesanan rezim penguasa. “Rakyat tidak bodoh. Di akhir masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo, makin banyak terkuak ketidak-beresan. Cara gampang ya sewa preman. Masa perusuh ga langsung ditangkap malah berpelukan dengan polisi,” tulis seorang warganet.
“Pihak kepolisian telah bergerak cepat menangani insiden ini. Dari 10 pelaku yang diburu, polisi berhasil menangkap 5 orang, dan 2 di antaranya sudah ditetapkan sebagai tersangka,” ujar Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Ade Ary Syam Indardi.
“Kami mengecam keras tindakan brutal tersebut. Itu cermin dari pelanggaran demokrasi yang terus terjadi. Aksi premanisme ini sangat mengganggu dan merusak kehidupan kebangsaan serta kenegaraan,” komentar Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin.
Meski sarat kritik, tindakan polisi dalam menangkap para pelaku, tetap mendapat apresiasi dari berbagai pihak. Namun, memang lebih banyak kritik yang menyebut bahwa aparat kepolisian seharusnya bisa mencegah insiden ini sejak awal.
Selepas penetapan tersangka, di media sosial, netizen masih bereaksi negatif. Banyak yang mengecam tindakan anarkis tersebut. Namun, yang mempertanyakan efektivitas aparat dalam menjaga keamanan acara public, harus diakui jumlahnya lebih banyak.
Komnas HAM turut angkat bicara. Mereka meminta polisi untuk mengusut tuntas kasus ini dan memastikan tidak ada lagi kejadian serupa di masa mendatang. Mereka menekankan pentingnya menjaga ruang kebebasan berekspresi di Indonesia.
Insiden ini menjadi sorotan nasional dan memicu diskusi luas tentang kebebasan berekspresi dan keamanan dalam penyelenggaraan acara publik. Banyak pihak berharap agar kejadian serupa tidak terulang dan semua pihak dapat belajar dari insiden ini.
Sementara itu Ketua Forum Tanah Air (FTA), Tata Kesantra, menyatakan penyerangan acara diskusi kebangsaan yang digagas FTA dan dihadiri para akademisi dan tokoh nasional menunjukkan kondisi yang jauh lebih buruk dari zaman Orde Baru (Orba).
“Kondisi ini jauh lebih buruk dari Orde Baru! Kita mundur 40 tahun ke belakang. Sepertinya mereka bermaksud memberi shock therapy, tapi mereka salah memilih tempat dan salah sasaran,” ujar Tata Kesantra dalam keterangan di Jakarta, Sabtu (28/9/2024).