Manca

Tak Harus Jadi Muslim untuk Bela Palestina

OLE – Beberapa narasi dibangun media pro Barat, termasuk yang ada di Indonesia. Begitu pula oleh netizen, yang umumnya bukan muslim, atau muslim sekuler.

HAMAS adalah organisasi teroris, juga berhaluan Syiah. Benarkah demikian? Berikut sepotong penjelasan terkait latar belakang perjuangan rakyat Palestina.

Ada dua faksi yang paling berpengaruh di Palestina, yakni Fatah (Gerakan Nasional Pembebasan Palestina) dan HAMAS (Gerakan Perlawanan Islam). Dua faksi ini memiliki ideologi yang berbeda.

Fatah berideologi nasionalis sekuler, HAMAS berideologi Islam Sunni Fundamental. Fatah mendukung ide dua negara (Palestina dan Israel), HAMAS bersikeras Israel harus dibubarkan.

Di luar Fatah dan HAMAS, ada kelompok pejuang Hisbullah yang beraliran Syiah. Mereka aktif menggempur Israel, dengan pasokan senjata dari Iran. Liga Negara-negara Arab menyebut mereka sebagai teroris.

HAMAS meski beraliran Sunni, membela Hisbullah karena tujuannya sama, membebaskan Palestina. Israel sendiri menuding HAMAS dan Hisbullah (keduanya dianggap radikal), telah melatih pemuda-pemuda Palestina menjadi teroris.

Pasukan Hisbullah, dipasok senjata dari Iran.

Di era Yasser Arafat, berkat pengaruhnya, Fatah dan HAMAS disatukan, meski mereka berbeda haluan. Setidaknya, perseteruan keduanya bisa diminimalisir. Namun begitu Yasser Arafat wafat, kongsi kedua faksi ini pecah.

Pada pemilihan legislatif tahun 2006, secara mengejutkan, HAMAS memenangkan pemilu secara mutlak, sehingga Ismail Haniyah sebagai ketua biro politik HAMAS yang diangkat menjadi Perdana Menteri. Kemenangan HAMAS menunjukkan bahwa rakyat Palestina mendukung perjuangan HAMAS, termasuk menolak eksistensi Israel.

Bagi AS dan negara-negara Barat, kemenangan HAMAS adalah kabar buruk bagi rencana perdamaian Palestina-Israel. HAMAS menolak mengakui Israel tanpa syarat.

Diprovokasilah Fatah untuk menolak hasil pemilu. Meski secara de facto Ismail Haniyah adalah PM Palestina, namun tidak pernah bisa menjalankan tugas politiknya dengan normal.

Penolakan Fatah atas kemenangan HAMAS membuat kedua faksi ini bersiteru bahkan saling adu senjata. Perang saudara dengan saling mengokang senjata dari kedua faksi ini tidak bisa dihindari.

Puncaknya, tahun 2007, Mahmud Abbas selaku presiden Palestina memecat Ismail Haniyah termasuk sejumlah tokoh HAMAS dari kabinet. Rakyat Jalur Gaza yang mendukung HAMAS menolak pemecatan tersebut, dan tetap mengakui Ismail Haniyah sebagai perdana menteri.

Pemerintahan Palestina pun terbagi dua, Tepi Barat dikuasai Fatah, dan Jalur Gaza dikuasai HAMAS. Oleh Barat, karena HAMAS menolak berdamai dengan Israel dan tidak mengakui Israel sebagai negara, HAMAS pun disebut sebagai organisasi teroris dan blokade terhadap Jalur Gazapun dimulai. Jalur Gaza menjadi penjara terbesar di dunia, dengan dua juta lebih “tahanan”.

Akibat blokade oleh Israel, Jalur Gaza disebut oleh PBB sebagai wilayah tidak layak huni. Semua serba kekurangan, baik pangan maupun akses air bersih.

Ternyata, nasib Tepi Barat di bawah Fatah yang mengakui Israel, tidak lebih menyenangkan. Israel memanfaatkan kelemahan Fatah dengan terus melakukan pencaplokan (aneksasi) terhadap bagian-bagian Tepi Barat. Termasuk ambisi menguasai sepenuhnya Yerusalem untuk dijadikan ibukota.

Menganiaya dan mengusir warga Palestina, sering dilakukan tentara Israel.

Sampai tahun 2017, sebanyak 237 pemukiman telah didirikan Israel di Tepi Barat dengan menampung sekitar 580.000 pemukim.

Sadar saling tikam hanya membuat Palestina makin lemah, dan memberikan keuntungan pada Israel, Fatah mengajukan rekonsiliasi ke HAMAS. Keduanya sepakat bersatu, dan mengadakan pemilu pada 22 Mei 2021.

Faksi Fatah dan HAMAS, akhirnya sepakat bersatu kembali.

Kesepakatan yang membuat AS dan Israel merinding. Keduanya khawatir HAMAS memenangkan pemilu, atau minimal, Fatah menghentikan upaya diplomasi dan memilih mengikuti arus perlawanan HAMAS.

Fatah sadar, menempuh jalur diplomasi dan memilih melunak hanya membuat Israel ngelunjak dan tidak memberi keuntungan apa-apa bagi rakyat Palestina. Solusinya, persatuan dan membangun pemerintahan bersama.

Situasi panas saat ini di Tepi Barat dan Jalur Gaza, terkait dengan upaya Israel menghambat dan menghalangi pelaksanaan pemilu yang tinggal sepekan lagi.

Sayangnya, di Indonesia, menyikapi situasi terkini di Palestina, isunya jadi kemana-mana. Tidak sedikit yang malah membela Israel dengan membangun narasi berbasis teologi, bahwa Palestina adalah wilayah yang dijanjikan Tuhan untuk orang-orang Yahudi.

Ada juga yang membuat isu, tindakan HAMAS melancarkan serangan roket bahkan sampai menyasar Tel Aviv adalah tindakan sepihak HAMAS yang tidak merepresentasikan sikap rakyat Palestina.

Mereka malah membenarkan HAMAS adalah organisasi teroris yang sejak awal tidak pernah didukung rakyat Palestina. Kalau tidak didukung rakyat Palestina, mengapa HAMAS bisa menang mutlak di pemilu 2006, dan mengapa AS dan Israel menolak pemilu tahun ini diadakan jika menyertakan HAMAS?

Kekhawatiran AS dan Israel bahwa HAMAS bakal menang pemilu, itu berbasis data. Bahwa dukungan rakyat Palestina pada HAMAS dan faksi-faksi perlawanan lainnya makin menguat. Juga dilandasi data.

Ada juga yang menyebut, serangan Israel ke Jalur Gaza, hanya bentuk pembelaan diri. Rakyat Palestinanya sendiri yang memprovokasi. Penyerangan ke Masjid Al-Aqsa pun dimaklumi dengan alasan, provokatornya yang lari ke dalam masjid.

Bedasar pada fakta itu, seyogyanya ummat Muslim Indonesia memperbanyak literasi. Kejadian hari ini di Palestina bukan serba tiba-tiba. Semuanya adalah akumulasi hari-hari, bahkan tahun-tahun sebelumnya, sampai puluhan tahun lalu.

Ini dimulai dari berdatangannya pengungsi Yahudi pada dekade 1940-an ke Palestina dalam kondisi tubuh kurus kering. Mereka ditolak di seluruh Eropa.

Para pengungsi Yahudi mulai bermukim di tanah Palestina. Jumlah mereka lambat laun membesar. Mereka mulai menunjukkan wajah aslinya, dengan membangun koloni-koloni.

Biasanya mereka lebih dulu melakukan perampasan tanah, genocida di wilayah tertentu, dan selanjutnya menjajah penduduk asli dengan modal senjata canggih pasokan negara-negara Barat.

Membangun negara baru di atas perampasan, pembunuhan massal dan pengusiran adalah kejahatan kemanusiaan. Tidak ada dalil teologis satupun yang membenarkan. Apapun agamanya.

Tidak harus jadi muslim untuk membela rakyat Palestina. Russia di bawah Vladimir Putin saja bersimpati pada Palestina dan aktif menekan Israel.

Maka sungguh aneh di Indonesia, sebagian malah gontok-gontokan. Biasnya terjadi antara musim kontra “bukan muslim” yang bergabung dengan muslim sekuler.

Mendukung rekonsiliasi Fatah-HAMAS, jelas lebih positif. Selain itu, bukankah muslim mesti sadar, kelak semua sikap dan perbuatan (termasuk dukungan) akan dimintai pertanggung-jawaban di hadapan Allah? Itu pasti.

Diolah Sigit Nugroho dari tulisan Ismail Amin Pasannai, dg diperkaya dari bbrp literasi.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Terpopuler

To Top